Faskes Wajib Melakukan Monitoring PPRA, Apa itu?

Resistensi Antibiotik telah menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat di dunia. Dengan cepatnya perkembangan dan penyebaran resistensi antibiotik, World Health Organization (WHO) memperkirakan angka kematian akibat resistensi antibiotik akan melampaui angka kematian akibat kanker pada tahun 2050. Untuk mencegah ancaman resistensi antibiotik yang lebih besar, WHO mencanangkan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA). Di Indonesia sendiri, seluruh fasilitas kesehatan (faskes) telah diwajibkan untuk melakukan monitoring PPRA.

Pengertian Resistensi Antibiotik dan Bahayanya

Antibiotik merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri. Penggunaan antibiotik dapat mempercepat proses penyembuhan pasien. Antibiotik bekerja dengan menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri yang menginfeksi tubuh. Dengan begitu, proses penyembuhan dapat berjalan dengan lebih cepat.

Meskipun memiliki manfaat yang sangat penting, penggunaan bakteri secara tidak tepat dapat membahayakan penggunanya, misalnya durasi atau dosis konsumsi antibiotik yang tidak tepat. Cepatnya perkembangan resistensi antibiotik di dunia sudah cukup menjadi indikator bahwa tingkat kepatuhan pasien dalam konsumsi obat antibiotik masih rendah. Hal tersebut sangat mungkin terjadi ketika faskes tidak melakukan kegiatan monitoring PPRA dengan baik.

Antibiotik yang dikonsumsi secara tidak tepat dapat menyebabkan resistensi antibiotik, yaitu kondisi saat bakteri, virus, jamur dan parasit yang menginfeksi tubuh menjadi kebal sehingga obat antibiotik yang dikonsumsi tidak lagi dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri infeksi. Hal ini menyebabkan proses penyembuhan tidak dapat  dilakukan, dan bahkan dapat memperburuk penyakit yang diderita pasien.

Satu hal yang membuat resistensi antibiotik menjadi ancaman serius bagi dunia kesehatan adalah fakta bahwa bakteri yang sudah kebal terhadap antibiotik dapat ditularkan dari satu orang ke orang lainnya. Selain itu, kekebalan yang dimiliki suatu bakteri terhadap obat antibiotik dapat “diwariskan” ke bakteri lainnya. Hal ini membuat kasus resistensi antibiotik berkembang dengan sangat cepat. Bahkan, perkembangan resistensi antibiotik ini jauh lebih cepat daripada penemuan antibiotik baru.

Berdasarkan Buku Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba Tahun 2020-2024, resistensi antimikroba menjadi penyebab 4,9 juta kematian di 204 negara selama tahun 2019. Dengan kasus resistensi antibiotik yang terus meningkat, tidak berlebihan jika menganggap bahwa resistensi antibiotik menjadi ancaman sektor kesehatan yang sangat serius. Oleh karenanya, monitoring PPRA menjadi program yang sangat penting untuk dilakukan oleh setiap faskes sebagai upaya untuk meminimalisir jumlah kasus resistensi antibiotik.

Kebijakan Pemerintah Dalam Mengendalikan Resistensi Antibiotik

Melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015, seluruh rumah sakit wajib mengatur penggunaan antibiotik secara bijak. Penggunaan antibiotik yang bijak adalah langkah penting untuk mengendalikan resistensi antibiotik di rumah sakit. Dengan adanya sistem monitoring PPRA yang berjalan dengan efektif, kasus resistensi antibiotik di rumah sakit dapat diminimalisir atau bahkan dicegah secara keseluruhan.

Untuk melaksanakan kegiatan PPRA, setiap rumah sakit harus membentuk tim pelaksana program PPRA. Tim ini bertanggungjawab dalam menerapkan kegiatan monitoring PPRA di rumah sakit, mulai dari membuat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring program dan melakukan evaluasi. Faskes juga diwajibkan menyusun kebijakan dan panduan penggunaan antibiotik untuk mendukung tim pelaksana PPRA dalam melakukan tugasnya.

Peran Faskes Dalam Mencegah Resistensi Antibiotik

Selain membentuk tim pelaksana program PPRA, rumah sakit juga harus mengalokasikan sumber daya untuk meningkatkan pelayanan farmasi klinik yang dapat membantu petugas medis dalam melakukan monitoring PPRA. Misalnya dengan mengimplementasikan teknologi dalam mengelola data penggunaan antibiotik di rumah sakit secara digital.

Penggunaan teknologi pengelolaan data digital akan menciptakan otomatisasi dan integrasi data antar unit pelayanan faskes, seperti Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS), Rekam Medis Elektronik (RME) hingga bagian farmasi. Hal ini akan menciptakan efisiensi dan meningkatkan akurasi monitoring PPRA yang dilakukan faskes. 

Dalam upaya untuk mendukung pengoperasian yang lebih efisien dan akurat dari program PPRA, rumah sakit dapat memanfaatkan teknologi canggih seperti AVIAT SIMRS. Didesain dengan fitur-fitur terkini dan antarmuka yang mudah dipahami, AVIAT SIMRS mempermudah staf faskes dalam mengelola data penggunaan antibiotik secara digital. Integrasi data antar unit pelayanan faskes, termasuk bagian farmasi, akan menciptakan otomatisasi yang tidak hanya meningkatkan efisiensi tetapi juga meningkatkan akurasi dalam monitoring PPRA. Dengan AVIAT SIMRS, rumah sakit dapat memberikan pelayanan farmasi klinik yang lebih baik, memastikan penggunaan antibiotik yang tepat, dan meningkatkan kualitas perawatan medis. Tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang kecanggihan fitur AVIAT SIMRS? Hubungi tim marketing AVIAT untuk berdiskusi lebih lanjut!

Similar Posts