Kesalahan Fatal yang Harus Dihindari Dalam Proses Digitalisasi Faskes
Digitalisasi faskes mempercepat akses data pasien, meningkatkan efisiensi layanan, dan mendukung keputusan medis yang lebih tepat.
Salah satu permasalahan yang terjadi pada sektor kesehatan di Indonesia selama ini adalah data kesehatan yang masih terfragmentasi. Masalah tersebut menghambat optimalisasi pelayanan kesehatan pasien, khususnya yang melibatkan data rekam medis. Selain itu, fragmentasi data yang terjadi juga memaksa tenaga kesehatan harus menginput data pasien yang sama secara berulang pada beberapa aplikasi kesehatan.
Untuk meningkatkan mutu serta efisiensi pelayanan kesehatan, Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) telah membuat cetak biru transformasi digital kesehatan Indonesia. Salah satu bentuk perwujudan dari strategi tersebut adalah membangun integrasi data layanan kesehatan di Indonesia melalui platform Indonesia Health Services (IHS). Oleh sebab itu, digitalisasi fasilitas kesehatan (faskes) harus diorientasikan untuk terwujudnya integrasi data kesehatan nasional.
Kondisi Faskes di Indonesia
Integrasi data kesehatan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan mutu serta efisiensi pelayanan kesehatan. Dengan terintegrasinya data rekam medis pasien, setiap faskes dapat mengakses data riwayat medis pasien di faskes sebelumnya, guna memudahkan dokter melakukan diagnosis yang akurat dan keputusan pengobatan yang efektif. Pasien juga tidak direpotkan untuk melakukan tes laboratorium maupun radiologi ulang di faskes baru, karena hasil tes pada faskes sebelumnya dapat dilihat oleh faskes tempat berobat yang baru.
Akan tetapi, mewujudkan sistem integrasi data kesehatan bukanlah hal yang mudah. Diperlukan usaha bersama dari Kemenkes maupun pengelola faskes sebagai pelaksana digitalisasi faskes. Faktanya, survei yang dilakukan Kemenkes kepada 737 rumah sakit pada tahun 2022 lalu menemukan bahwa sebagian besar aplikasi yang digunakan di rumah sakit tidak interoperable dengan SIMRS.
Ketika aplikasi tersebut tidak interoperable dengan SIMRS, maka dapat dipastikan aplikasi yang sama tidak dapat dihubungkan dengan platform Indonesia Health Services (IHS). Padahal Kemenkes telah menetapkan standarisasi dalam proses digitalisasi faskes dimana setiap sistem digital di seluruh faskes seperti rekam medis elektronik dan SIMRS dapat dihubungkan dengan platform IHS.
Dampak Aplikasi Kesehatan yang Tidak Interoperable
Kebijakan transformasi digital yang ditetapkan Kemenkes bukan hanya sebatas beralih dari sistem cetak ke digital. Lebih dari itu, Kemenkes berusaha untuk membangun integrasi data layanan kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan nasional. Oleh sebab itu, setiap aplikasi kesehatan yang diterapkan di faskes harus memiliki kemampuan interoperabilitas.
Kesalahan dalam memilih aplikasi kesehatan digital pada akhirnya mengharuskan faskes untuk mengulang digitalisasi sistem, dan menggantinya dengan aplikasi lainnya yang interoperable. Hal ini tidak hanya menghabiskan banyak waktu, namun juga mengharuskan manajemen mengeluarkan anggaran digitalisasi faskes yang tidak sedikit.
Mengulang proses digitalisasi faskes juga berdampak pada tenaga kesehatan yang harus menjalani proses adaptasi dengan aplikasi yang baru. Pada akhirnya, faskes harus mengadakan pelatihan kepada tenaga kesehatan dari awal. Selama proses adaptasi ini, kecepatan kerja tenaga kesehatan juga akan berkurang karena kendala teknis dan pengetahuan dalam menggunakan aplikasi kesehatan yang baru. Kondisi ini pada akhirnya berdampak pada pelayanan pasien yang juga akan terhambat.
Perimbangan Penting Dalam Melakukan Digitalisasi Faskes
Kesalahan digitalisasi faskes membawa konsekuensi yang sangat merugikan, baik dari sisi waktu, produktivitas tenaga kerja, biaya, hingga pelayanan pasien. Oleh sebab itu, pengelola faskes harus mampu memastikan bahwa digitalisasi yang diterapkan telah sesuai dengan standar aplikasi yang ditetapkan oleh Kemenkes.
Sebelum melakukan digitalisasi faskes, manajemen perlu memetakan setiap platform aplikasi digital yang akan digunakan memiliki kemampuan untuk interoperable dengan platform IHS dan aplikasi kesehatan lainnya atau tidak. Selain itu, manajemen faskes juga harus dapat memastikan bahwa penyedia aplikasi kesehatan yang akan digunakan telah terdaftar sebagai Penyedia Sistem Elektronik (PSE) yang legal di Kemenkes. Hal ini telah tertuang pada Pasal 9 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2022 tentang rekam medis. Dengan mempertimbangkan dua variabel tersebut, kesalahan dalam digitalisasi faskes dapat dihindari.
Kabar baiknya, Anda tidak perlu mengkhawatirkan kedua hal tersebut saat menggunakan platform AVIAT. Selain telah terdaftar sebagai salah satu PSE di Indonesia, AVIAT juga dilengkapi oleh teknologi Application Programming Interface (API) yang memungkinkannya untuk dihubungkan dengan aplikasi lainnya. Dengan demikian, faskes Anda dapat tergabung di dalam ekosistem IHS yang telah dikembangkan oleh Kemenkes. Untuk informasi selengkapnya tentang berbagai produk AVIAT, hubungi tim marketing AVIAT! (Septiani)